Sabtu, 08 November 2008

Syariat Islam Tidak Bikin Orang Susah Tambah Susah

Diriwayatkan bahwa baginda Rasulullah SAW. suatu hari sedang menempuh perjalanan di bulan Ramadhan. Di tengah jalan beliau menjumpai seorang lelaki yang sedang berteduh di bawah sebuah pohon sambil menuangkan air pada tubuhnya.

Maka beliau bersabda: “ Mengapa orang ini ? “

Para sahabat menjawab: “Orang itu sedang berpuasa”

Maka baginda Rasulullah SAW. ber-sabda : ” Tidak dianggap kebaikan orang yang berpuasa saat Bepergian ”.

Sungguh pernyataan Rasulullah SAW. di atas merupakan bentuk keringanan (rukhshah) bagi orang yang sedang bepergian untuk tidak berpuasa.

Sebagaimana firman Allah SWT: “ ..maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam per-jalanan (lalu dia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah 184).

Tentang bolehnya orang yang bepergian jauh (lebih dari jarak safar) untuk tidak berpuasa diperjelas dalam hadits Rasulullah SAW: “ Jika mau maka berpuasalah, dan jika kamu mau maka berbukalah “.

Tentu dalam implementasinya tergantung situasi kondisi perjalanan itu. Jika kondisi perjalanan seseorang di bulan Ramadhan itu ringan atau tidak terlalu berat, maka berpuasa lebih baik baginya.

Ini sesuai dengan firman Allah:

" Dan jika kamu berpuasa maka itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya " (QS. Al Baqarah 184).

Namun jika kondisi medan perjalanannya berat, seperti yang terjadi pada seorang di tengah perjalanan di padang pasir sebagaimana yang dijumpai oleh baginda Rasulullah SAW, maka tidak berpuasa adalah lebih baginya.

Itulah syariat Islam tidak bikin orang susah tambah susah. Dalam sebuah hadits Nabi saw. menyatakan: " Agama Islam itu mudah ". Juga kepada para penguasa yang diutus untuk menjabat memelihara urusan umat di suatu wilayah atau kota, Nabi SAW berpesan: " Mudahkanlah (mereka) dan janganlah engkau persulit, gembirakanlah (mereka) dan janganlah engkau hardik ".

Tentu saja kemudahan syariat agama Islam bukan berarti pelaksanaannya bisa dimudah-mudahkan atau dijalankan dengan sembarangan. Tidak. Misalnya, tidak boleh seorang berpuasa memulai dari jam 7 pagi dan berbuka jam 5 sore. Atau misalnya dia ganti jadwal puasanya dari maghrib hingga subuh. Jelas ini tidak memenuhi ketentuan waktu ibadah puasa menurut sunnah Rasulullah SAW. Demikian juga misalnya, pergi haji dia ganti, daripada susah-susah ke Mekah, lalu diganti haji ke Jakarta dengan thawaf di Monas dan Sa'i di Stasiun Gambir. Jelas ini tidak memenuhi ketentuan syariat tentang lokasi ibadah haji.

Syariat itu mudah, namun jika ditambah dan dikurangi atau diubah-ubah berdasarkan hawa nafsu manusia, tentu akan menjadi susah. Misalnya saja, jual beli dicampur riba. Pinjam-meminjam yang merupakan kebaikan dan refleksi dari saling tolong diganti dengan sistem pinjam ribawi. Industri dan perdagangan sektor riil yang halal diganti dengan sistem bursa saham yang penuh aroma judi dan riba. Maka baik secara parsial maupun total, berbagai bentuk penyimpangan dari syariat Allah tersebut pasti akan menghasilkan kehidupan yang susah. Sebab tindakan mengikuti hawa nafsu dengan mengingkari syariat Allah berarti suatu bentuk penentangan terhadap peringatan Allah SWT. Sedangkan Allah SWT telah memberikan peringatan: “ Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya akan mendapatkan penghidupan yang sempit ” (QS. Thaha: 124).

Kini jelaslah, kehidupan susah kaum dluafa yang terlilit utang ribawi alias terjerat rentenir, maka sepanjang hidupnya dia akan menjadi budak yang bekerja keras untuk membayar cicilan utang plus bunganya. Dalam skala negara, kekayaan alam yang merupakan milik rakyat secara bersama habis dikuras oleh para kapitalis asing yang telah memberikan utang kepada pemerintah dengan riba yang kelihatannya kecil dan berjangka panjang dengan ditambah konsesi penguasaan atas kekayaan tambang minyak, gas, emas, dan kekayaan alam lainnya. Sepanjang hidup tahun-tahun berganti APBN dan pemerintahan, semua untuk digunakan untuk mengabdi pada kaum kapitalis imperialis tersebut. Bayangkan, untuk bayar riba tahun ini saja, di APBN kita dialokasikan sejumlah 97 triliun rupiah. Itu baru bunganya, dan itu diluar keuntungan mereka dengan berbagai kekayaan alam yang mereka sedot.

Wal hasil, bangsa Indonesia hidup di atas bumi yang kaya raya, namun kehidupannya miskin. Ini tentu saja karena tidak mau mengatur kehidupannya sesuai syariah, Wallahua'lam!

[muhammad al khaththath/www.suara-islam.com]