Selasa, 11 November 2008

Semakin Mahal Menjadi Tamu Allah



Rabu Malam (2/4), Ketua Komisi VIII DPR RI Hasrul Azwar mengetukkan palunya seusai Rapat Kerja di DPR Jakarta. Usul Menteri Agama Maftuh Basyuni menaikkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2008 (1429 H) disetujui. Di hadapan Komisi VIII DPR RI, Menag mengusulkan BIPH untuk zona I (meliputi Aceh, Me dan, Batam, dan Padang) sebesar 3.308 dollar AS,

zona II (Palembang, Jakarta, Surakarta, dan Surabaya) 3.429,6 dollar AS, dan zona III (Makassar, Banjarmasin, dan Balikpapan) sebesar 3.567,3 dollar AS, ditambah biaya komponen dalam negeri Rp 501.000 untuk setiap zona. Angka ini meningkat dibanding tahun lalu di mana zona I ditetapkan 2.822,8 dolar AS, zona II 2.925,9 dolar AS dan zona III 3.053,6 dolar AS ditambah biaya komponen dalam negeri masing-masing Rp 400.100. BPIH tahun ini naik rata-rata sebesar 500,9 dollar AS dan Rp 100.900 atau dalam rupiah, dengan asumsi RP 10.000 per dolar AS, kenaikan lebih dari Rp 5 juta dibanding tahun lalu.

Menurut Menag, kenaikan BPIH ini tidak bisa dihindari karena dipengaruhi naiknya biaya komponen penyelenggaran haji seperti biaya penerbangan terkait naiknya avtur, transportasi darat di tanah suci, katering, termasuk adanya pungutan airport tax, dan rencana pemberian makan gratis bagi jemaah selama di Mekkah. Untuk biaya penerbangan jamaah haji, dua maskapai penerbangan, Garuda Indonesia dan Saudia Arabian Airlines, mematok tarif untuk zona I 1.780 dollar AS, zona II 1.901 dollar AS, dan zona III 2.038 dollar AS, sedangkan Saudia menetapkan tarif zona I 1.865 dollar AS, zona II 2.004 dollar AS dan zona III 2.259 dollar AS.

TERLANTAR DI TANAH SUCI

Naiknya Ongkos Naik Haji (ONH) atau Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang rutin setiap tahun tidak dibarengi dengan perbaikan kualitas pelayanan. Kisah pilu selalu saja mengiringi jamaah haji Indonesia dari tahun ke tahun, mereka terlantar di Tanah Suci. Kelaparan jamaah haji Indonesia di tahun 2006 adalah contohnya. Tragedi ini merupakan tamparan keras bagi otoritas penyelenggara haji di negeri ini, Departemen Agama.

Pada tahun 2007, atas inisiatif sendiri, Menteri Agama Maftuh Basyuni melakukan terobosan dengan menyediakan makan melalui pola prasmanan. Berbeda dengan prasmanan pada sebuah acara pernikahan dengan banyak pilihan makanan, prasmanan yang diberlakukan untuk jamaah haji hanya menyediakan satu makanan. Suka tidak suka, sesuai atau tidak dengan usia, menu hidangan itulah yang harus ditelan para jamaah.

Para jamaah juga bukan mengambil makanan sendiri melainkan harus antri dan menunggu giliran untuk mendapat jatah makan yang dibagikan oleh petugas, persis para pengungsi. Jumlah antreannya cukup banyak, karena setiap dua ribu jamaah dibagi menjadi 8 maktab atau 250 orang setiap maktab untuk satu meja hidangan. Dengan asumsi setiap jamaah menghabiskan waktu 1 menit maka urutan terakhir dari antrian jamaah baru bisa makan setelah menunggu lebih dari 3 jam. Jamaah haji menolak sistem ini, tapi Maftuh menganggap keputusannya sudah final. Dia rupanya enggan dipersalahkan seperti pada musim haji 2006, ketika jamaah haji mengalami kelaparan akibat tidak beresnya sistem catering.

Buruknya pengelolaan pelayanan ibadah haji membuat banyak orang menilai penanganan jamaah calon haji tidak lagi dilakukan berlandaskan kepentingan ibadah melainkan lebih menekankan sebagai bisnis. Depag bersikap tak ubahnya seperti biro perjalanan haji raksasa kalau tidak mungkin disebut sebagai calo.

Tidak adanya efisiensi menyebabkan ONH membubung tinggi. Jika dibanding dengan Malaysia, jamaah haji Indonesia mengeluarkan biaya lebih tinggi. Padahal jarak antara Malaysia dan Indonesia ke Makkah relatif sama. Hal ini sempat dipertanyakan oleh Ketua DPR Agung Laksono. ”Kok bisa biro haji di Kuala Lumpur jauh lebih murah ketimbang di Indonesia. Padahal dari segi jarak antara Malaysia dan Indonesia tidak jauh berbeda untuk berangkat ke Arab Saudi," katanya. Sebagai perbandingan, pada tahun 2007, jamaah haji Indonesia membayar 2.822 - 3.053 dolar AS. Sementara, Malaysia menetapkan ONH hanya 1.200 dolar AS. Depag membantah kabar ini dan menganggap bohong ONH di Malaysia lebih murah. Tahun ini, Depag mematok harga 3.308 - 3.567,3 dollar AS bagi yang ingin naik haji.

Biaya ini belum termasuk pungutan. Sudah menjadi rahasia umum, jika calon haji Indonesia, selain melunasi ONH juga harus membayar sejumlah pungutan. Dari mulai mengurus surat menyurat di kelurahan/desa dan kecamatan, periksa kesehatan, biaya manasik, pengambilan koper dan seragam. Bahkan ada juga panitia haji daerah yang memungut zakat, infak, dan sedekah (ZIS), sumbangan pembangunan rumah ibadah dan kegiatan sosial lainnya yang tidak terkait dengan ibadah haji. Besarnya pungutan tersebut sangat variatif, namun yang jelas semakin memberatkan para calon haji.

Sebuah lembaga swadaya masyarakat pemerhati layanan haji, Maslahat Haji, menemukan ketidakberesan pelayanan haji Indonesia dari berbagai aspek, seperti komponen biaya penerbangan, pemondokan, makan minum, dan biaya bimbingan haji. Seperti biaya penerbangan yang dikenakan kepada jamaah lebih mahal dari yang seharusnya. Tapi fasilitas kabin penumpang di bawah standar, semisal kursi lebih sempit.

MONOPOLI IBADAH HAJI

Mahalnya biaya naik haji dan kualitas pelayanan yang buruk disebabkan kesalahan sistem penyelenggaran haji. Departemen Agama melakukan peran ganda sebagai penyelenggara sekaligus pengontrol, pemain sekaligus juri. Sistem buruk ini kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang Haji Nomor 17 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan terbitnya Undang-Undang UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Meskipun UU haji diperbarui, namun monopoli penyelenggaraan ibadah haji tetap tidak tersentuh, Depag sebagai aktor satu-satunya penyelenggaraan ibadah haji. Padahal sistem monopoli inilah yang menyebabkan membengkaknya biaya naik haji karena tidak terbukanya peran swasta untuk aktif menentukan biaya haji tersebut, sehingga mengakibatkan adanya monopoli dalam setiap pemenuhan item-item keperluan haji mulai dari pengadaan barang, pesawat maupun makanan (catering).

Bisa dikatakan monopoli penyelenggaran ibadah haji di negeri ini bermula pada tahun 1967. Sebelumnya, semasa orde lama pihak swasta diberi peran besar, namun sejak tahun 1967 kewenangan itu secara sistematis diambil alih pemerintah yang arahnya pada kebijakan monopoli penyelenggaraan haji oleh pemerintah dengan terbitnya. Keputusan Presidium Kabinet No 27/U/IN/5/1967 yang melarang badan atau yayasan untuk menyelenggarakan urusan haji tanpa legalisasi dari Menteri Utama Bidang Kesra atau pejabat yang ditunjuk. Setahun kemudian Menteri Agama menerbitkan surat keputusan tertanggal 19 Agustus 1968 yang antara lain menegaskan dua hal. Pertama, masalah haji adalah tugas nasional guna menjaga martabat atau nama baik bangsa dalam pandangan dunia internasional. Kedua, keikutsertaan pihak swasta dalam urusan haji dibatasi pada bidang pengangkutan, baik melalui laut maupun udara dengan otoritas keputusan berada di tangan pemerintah.

Monopoli haji oleh pemerintah ditentang oleh keluarga besar bulan bintang (eks Masyumi), bahkan Mr Syafruddin Prawiranegara mempelopori penyelenggaraan ibadah haji yang lebih murah dan lebih professional dengan mendirikan sebuah wadah Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI). Husami berhasil mengkoordinir keberangkatan dan pemulangan 712 jamaah haji yang oleh pemerintah dianggap sebagai jamaah haji illegal, maka terjadilah peristiwa Gambela.

Sentralisasi penyelenggaraan ibadah haji terus berlanjut sampai saat ini. Monopoli dan dominasi pemerintah dalam hal ini departemen agama menuai badai kritik dari berbagai pihak karena ketidakmampuan pemerintah memberikan biaya yang murah dan pelayanan yang baik kepada jamaah haji.

SWASTANISASI HAJI

Jalan keluar agar para jamaah haji Indonesia bisa naik haji dengan biaya murah, harus dibuka kran swastanisasi haji. Namun ide ini ditolak oleh Menag Maftuh Basyuni. Dalam berbagai kesempatan Basyuni dengan gigih menolak swastanisasi haji karena berkeyakinan swastanisasi haji akan membuat jamaah semakin sengsara. ”Kalau ada swastanisasi haji akan semakin bobrok (rusak), karena terjadi rebutan," katanya.

Padahal, dengan adanya swastanisasi haji, masyarakat mempunyai pilihan ke lembaga atau yayasan mana berangkat haji. Tentunya pilihan masyarakat akan jatuh pada jasa penyelenggaraaan ibadah haji yang murah dan kualitas pelayanannya pun prima. Karena itu, para penyedia jasa layanan penyelenggaraan haji akan berlomba-lomba menyediakan jasa penyelenggaraan haji yang murah dan kualitas pelayanan yang baik. Sementara peran pemerintah adalah sebagai regulator. Pemerintah mengawasi dan menelurkan peraturan-peraturan yang menjamin jamaah bisa melakukan ibadah haji dengan baik dan mendapatkan kualitas pelayanan yang bagus pula. Dalam kasus swastanisasi haji, pemerintah bisa berkaca pada Uni Emirat Arab, misalnya. Penyelenggaraan haji di sana, sama sekali tidak melibatkan pemerintah dan masyarakat dibebaskan melakukan ibadah haji secara sendiri-sendiri. Sebaliknya, pemerintah hanya membentuk petugas haji untuk mengawasi penyelenggaraan ibadah haji, seperti pelayanan kesehatan, transportasi, yang dipimpin oleh seorang wakil menteri waqaf.

Namun, wacana swastanisasi haji yang berkembang di masyarakat ditolak mentah-mentah oleh pemerintah karena akan mengurangi devisa negara. Depag pun tentu keberatan dengan swastanisasi haji karena akan kehilangan ladang bisnis yang menggiurkan dan diduga sebagai sumber KKN dengan pihak luar. Dari penyelenggaraan haji saja, setidaknya didapat dana segar Rp 5 triliun setiap tahunnya. Selain bersumber dari dana Ongkos Naik Haji (ONH), dana itu juga didapat dari berbagai tender, mulai dari pemondokan hingga katering. Belum termasuk praktik KKN di sekitar kontrak pemondokan antara aparat Depag, calo, dan pemilik pemondokan (orang Arab). Tak heran jika kemudian para PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Ditjen haji lebih makmur dari pada ditjen depag lainnya.

tabrani syabirin/www.suara-islam.com